Saya selalu suka komedi
Mulai dari sitkom, slapstick, parodi, dan yang terbaru adalah stand up
comedy
Sebelum stand up comedy betul-betul booming di Indonesia, sebenarnya
saya selalu sering menonton acara seperti itu di TV karena kebetulan dulu di
rumah saya ada TV kabel yang menyiarkan acara-acara komedi. Meskipun begitu,
nanti tahun 2012 saya baru tahu kalau jenis komedi tunggal ini disebut stand up
comedy.
Dulu sebenarnya saya adalah salah satu orang yang pesimis kalau stand
up comedy bisa jaya di Indonesia. Alasannya sederhana, karena materi yang ada
dalam pertunjukan stand up comedy biasanya susah diterima oleh kebanyakan orang
Indonesia. Materi stand up comedy biasanya selalu seputar current isseu yang
terjadi di tengah masyarakat dan tipe komedi yang mengangkat tema seperti ini
sudah lama ditinggalkan komedian kita.
Namun apa yang terjadi ternyata tidak seperti itu. Setelah saya
melihat stand up comedy, terutama yang dibawakn oleh Pandji Praagiwaksono dan
Raditya Dika, saya langsug berbalik 360 derajat mendukung bahwa komedi ini akan
booming.
Gaya pembawaan stand up comedy kita memilki ciri khas tersendiri. Ciri
khas ini mengingatkan saya pada pertunjukan MOP papua. Pertunjukan MOP papua
sangat lucu dan membuat kita jungkir balik tertawa, bukan hanya karena cara
pembawaannya namun juga isi lawakannya. Silahkan cek sendiri di Youtube. Mungkin
ini juga alasan komedian seperti Arie Kriting dan Abdur sangat bagus saat di
atas panggung.
Ketertarikan saya pada stand up comedy ini kemudian menjadi suatu
keinginan bagi saya untuk menjadi seorang komika (sebutan untuk komedian yang
mempertunjukkan stand up comedy), apalagi waktu itu di daerah saya sudah
dibentuk komunitasnya sendiri. Saya pun kemudian jadi sangat antusias waktu itu.
Namun niat tersebut kemudian saya urungkan karena adanya beberapa
alasan.
Yang pertama, saya ini orangnya kurang cerdas. Banyak orang yang
bilang bahwaa seorang komika haruslah orang yang cerdas. Entah dengan orang
lain, namun bagi saya seseorang bisa dikatakan cerdas ketika dia bisa cepat
untuk berpikir. Dalam konteks komedi, berarti orang tersebut harus berpikir
cepat untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lucu. Orang yang cerdas memiliki
kemampuan berimprovisasi untuk menemukan kelucuan dalam waktu singkat dan hal
inilah yang tidak bisa saya lakukan.
Berpikir saya lemot.
Jangankan untuk komedi, dalam kehidupan sehari-hari pun saya selalu
lamban untuk berpikir. Makanya dulu saya sering kena marah sama guru saya waktu
sekolah..hahahaha..
Hal kedua yang membuat saya mengurungkan niat untuk menjadi komika
adalah karena saya kurang rapih dalam menulis. Dalam sebuah komedi atau secara
khusus stand up comedy, penulisan materi sama dengan penulisan skenario cerita.
Bit harus disusun secara sistematis
mulai dari yang memiliki gelak tawa yang sedikit hingga yang paling banyak pada
bagian akhir. Ini mungkin terdengar mudah tapi jika anda mau mencobanya hal ini
akan menjadi sangat sulit, terutama ketika writers block muncul yang memancing
kita menjadi semakin malas. Sampai saat ini saya masih terus berlatih untuk
menulis serapi mungkin, maka dari itu saya menganggap diri saya belum layak
untuk mejadi komika ataupun performer panggung.
Hal ketiga ialah saya orangnya kurang lucu.
Menurut saya seorang komedian dikatakan lucu ketika bit yang
dilemparkannya memiliki 2 arah, yaitu dapat membuat tertawa dirinya sendiri
maupun penonton sebagai penikmat dari bit yang dilemparkannya.
Saya pernah mencoba untuk berkomedi ke beberapa kerabat saya tentang
grup band kotak yang seharusnya mengganti nama karena kehilangan satu
personilnya. Ternyata bit komedi yang saya lemparkan ke mereka hanya itu
bersifat 1 arah, saya tidak tahu alasannya tapi menurt saya mereka tidak
mengikuti berita musik sehingga tidak menangkap apa yang saya sampaikan dengan
baik. Akhirnya, bit komedi yang saya lemparkan ke mereka jadi garing karena
mereka menggapnya tidak lucu.
Hal keempat yang membuat saya semakin tidak pantas untukk menjadi
komika adalah karena saya ini orangnya bantam atau banci tampil. Saya selalu
demam panggung.
Selalu
Saya ini adalah seorang Mentalis, meskipun masih dalam taraf amatir. Dan
sampai sekarang ini saya baru naik panggung sebanyak 3 kali, itupun juga karena
dipaksa sama teman.
Begitu pun dengan bermusik. Banyak teman saya yang bilang bahwa suara
saya ini lumayan bagus, namun saya betul-betul menyanyi di atas panggung baru
satu kali dan itupun, lagi-lagi, karena terpaksa.
Kata orang, demam panggung akah hilang jika dibiasakan. Tapi bagi saya
itu mungkin tidak akan pernah berlaku. Ada sesuatu dalam diri saya yang membuat
saya tidak bersenyawa dengan tempat yang namanya panggung atau apapun jenisnya.
Saya lebih suka mempertunjukkan apa yang saya bisa ketika saya nongkrong dengan
kerabat ataupun teman saya. Bukan di tempat yang formal seperti panggung.
Dengan apa yang saya ceritakan tadi bisa dibayangkan. Dari 2 hal yaang
saya bisa lakukan dengan baik pun saya masih belum berani untuk tampil,
bagaimana dengan stand up comedy yang jelas-jelas saya belum sepenuhnya bisa?
Maka dari itu saya pribadi menyimpulkan tidak bisa menjadi komika,
setidaknya dalam waktu dekat ini karena saya menganggap saya masih butuh waktu
untuk berlatih.
Nah, karena tidak bisa menjadi komika, maka jadilah saya hanya sebagai
penonton atau penikmat stand up comedy. Dan sebagai penikmat dan penonton yang
budiman, tentunya saya punya kritik tersendiri terhadap stand up comedy,
khusunya yang ada di Indonesia.
Boleh kan??
Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu stand up comedy dari prespektif
saya pribadi.
Pada dasarnya stand up comedy memiliki sub genre yang sangat besar yaitu
observastional comedy.
Komedian yang bersifat Observational mengambil materi komedinya dari
hasil pengamatan kehidupan sehari-hari yang menjadi keresahannya lalu dari
hasil pengamatan tersebut dibuat punchline yang cendurung bergaya sarkastik, satir,
hiperbolik, dan sebagainya. Contoh komedian seperti ini adalah Jerry Seinfield,
yang menurut sebagian orang adalah bapaknya Observational Comedy. Untuk komika
Indonesia, Pandji Pragiwaksono dan yang paling baru yaitu Abdur dan David
adalah contoh komika dengan materi
Observational.
Saya melihat dari kacamata seorang penikmat, terkadang
keresahan yang ingin disampaikan menjadi punchline dalam komedi observational oleh
para komika kita selalu cuma ikut-ikutan. Ketika komika ini membahas mengenai
keresahannya mengenai kejombloan, dia ikut bikin materi tentang jomblo. Ketika komika
yang itu membuat materi karena resah akan politik di Indonesia, dia juga ikut. Hal
ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, seharusnya jika memilki keresahan
yang sama dengan orang lain setidaknya kita memiliki point of view yang berbeda
dengan orang lain itu.
Misalnya saya dan teman saya punya keresahan yang sama mengenai cuaca
kota Makassar yang sangat panas, namun saya memeliki keresahan bahwa saya tidur
siang saya terganggu karena cuaca panas itu, sedangkan keresahan dia adalah
karena dia takut tambah hitam gara-gara cuaca panas itu. Kira-kira seperti itu
yang saya maksud.
Sampai disini dulu tulisan opini, curhat, cuap-cuap, dan koar-koar
saya soal stand up comedy
Ciao..!!!!