Minggu, 04 Mei 2014

Old Man Body - Chapter 1



Malam yang sunyi, namun bulan seperti lebih terang dari biasanya. Malam itu bulan sedang purnama. Sebuah mobil SUV mewah berwarna silver berjalan menyusuri jalan kota, menembus heningnya malam menuju pinggiran kota. Mobil itu mengarah ke sebuah rumah yang besar layaknya istana di negeri dongeng. Rumah itu adalah milik seorang pensiunan pejabat kota berusia 78 tahun, Latief Hartanto.

Sang pensiunan pejabat itu tak biasanya pulang selarut ini. Dia baru saja selesai menghadiri jamuan makan malam pesta penikahan anak walikota. Rumahnya yang berada di pinggiran kota membuatnya harus menempuh perjalanan sejauh satu jam lebih lima belas menit dari pusat kota. Dia dan istri mudanya tak ingin diganggu oleh bisingnya kehidupan kota, itulah yang membuatnya memilih tinggal di pinggiran kota yang sedikit lebih sunyi. Dia juga tak suka menggunakan supir pribadi. Dia merasa masih mampu untuk melakukan segalanya sendirian meskipun usianya sudah melewati setengah abad. Bahkan dengan rumah sebesar itu pun dia tidak menggunakan seorang satpam untuk menjaga rumahnya. Tingkat kepercayaan Latief memang sangat rendah terhadap orang disekitarnya. 

Banyak gosip yang tersebar mengenai sumber-sumber kekayaan kakek 78 tahun ini. Mulai dari dugaan kasus korupsi dan pencucian uang pada masa jabatannya dulu pada saat Perang Dunia III atau yang biasa kami sebut Perang Nuklir. Namun, seperti kebanyakan kasus korupsi yang lain, kasus tersebut seperti menghilang menguap di udara tanpa sisa.

Meskipun memiliki kehidupan yang terbilang mewah, keluarganya masuk dalam kategori berantakan. Hubungan dia dengan keempat anaknya tak akur setelah dia memilih untuk menikah lagi. Setahun setelah istrinya meninggal, Latief memilih untuk menikah lagi dengan perempuan yang 40 tahun lebih muda dari dirinya. Inilah yang membuat para anaknya merasa dia hanya diperalat oleh si istri muda agar dapat merebut semua harta warisan miliknya. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda dia akan diperalat oleh si istri muda. Tak satu pun dari keempat anak Latief yang tinggal bersamanya di rumah besar tersebut. Keempat anak Latief memiliki kehidupan masing-masing dan seakan sudah tidak peduli dengan kehidupan orang tuanya yang sudah memiliki istri yang bahkan tidak lebih tua dari anak pertama Latief.

SUV silver yang dikendarai oleh Latief sudah tiba di depan pintu gerbang mansion-nya. Dia memencet remote khusus dari dalam mobil dan membuat pintu gerbang terbuka dengan sendirinya. Latief kembali menginjak pedal gas mobil mewahnya itu dan berjalan pelan memasuki pekarangan rumahnya. Perjalanan dari gerbang menuju garasi yang berjarak sekitar 100 meter menunjukkan betapa mewahnya rumah kakek eksentrik ini. Pintu garasi terbuka secara otomatis dan mobil SUV itu kembali berjalan pelan masuk ke dalam garasi mobil.

Ketika turun dari mobil dan hendak menutup kembai garasi mobilnya, Latief seperti mendengar suara aneh yang datang dari pekarangannya yang luas bak lapangan sepakbola. Dia curiga ada penyusup yang masuk ke rumahnya, apalagi malam itu istrinya sedang di rumah mertuanya.

Dia mengambil senapan angin miliknya yang ada dalam garasi mobil dan segera ke pekarangan rumahnya. 

“Keluar kau, sialan..!!!” Teriak Latief sambil mengokang senapan angin miliknya namun tak ada jawaban apapun dari penyusup itu. 

Tak lama berselang, Latief merasakan semak-semak yang ada di pekarangan rumahnya seakan mengeluarkan suara aneh. Latief berjalan dengan tenang menuju semak tersebut sambil mempersiapkan senapan anginnya. Dia mulai berjongkok pelan di dekat semak itu, penasaran dengan sesuatu yang ada di balik semak-semak itu. Ujung senapan angin laras panjangnya dia masukkan secara perlahan ke dalam semak-semak.

Dengan perasaan sedikit tegang, Latief sudah siap menarik pelatuk senapan. Tiba-tiba saja sebuah tangan langsung menyekap mulut Latief. Cengkraman orang tersebut sangat kuat dan latief hanya bisa memberontak dan memukul-mukul tangan penyusup itu, namun tetap saja badannya yang sudah menua tak bisa bebuat apa-apa melawan tangan berotot penyusup itu. Semakin keras Latief memberontak, semakin kuat penyusup tersebut menyekap mulut kakek tua itu dengan tangan kirinya.

“Tenanglah, pak tua. Tenang.” Bisik penyusup itu ke telinga Latief sambil tetap membekap mulut Latief dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

“Dari pakaianmu, kau sepertinya sudah puas bersenang-senang malam ini. Sekarang saatnya kau kubuat puas dalam penderitaan.” Si penyusup melanjutkan bisikannya sembari tanpa ampun menutup hidung dan mulut Latief hingga kakek itu tidak bisa bergerak lagi.

Ketika Latief sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, penyusup tersebut kemudian mengeluarkan sebuah pisau.  Si penyusup yang seakan belum puas telah membuat Latief tak sadarkan diri lalu mengarahkan ujung pisaunya ke sisi kiri leher Latief. Dia mulai mengiris secara perlahan leher Latief dari ujung kiri hingga ke ujung kanan, membiarkan darah dari leher Latief tertumpah ke Jas dan Kemaja putih yang di kenakan Latief. 

Mayat Latief yang sudah tidak bernyawa diletakkan si penyusup begitu saja di semak-semak pekarangan rumah Latief dan menghilang dari rumah besar itu.

****