Minggu, 26 Juni 2016

Jurnal - 26 Juni 2016 : Media Online kita




Sebagai seorang staf keuangan di salah satu media cetak terbesar di Sulawesi Selatan, saya cukup paham bahwa dua hingga tiga tahun terakhir ini adalah masa-masa suram bagi sebuah perusahaan media cetak. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan masa suram ini, yang cukup menakutkan bagi sebuah perusahaan media cetak adalah mudahnya akses berita melalui internet secara cuma-cuma sekarang ini. Dengan jumlah langganan yang diperoleh semakin menurun tiap harinya kemudian diperparah dengan biaya operasional yang semakin tinggi untuk mencetak sebuah koran atau majalah, menjadi hal yang wajar kemudian jika kita mendengar kabar bahwa ada media cetak beralih bentuk ke media online atau malah berhenti beroperasi sama sekali. Hal ini memberikan pertanyaan besar yang selalu menggantung di kepala saya:

“apakah benar sudah saaatnya sebuah media cetak tergantikan oleh media online?”

Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Semuanya terantung seperti apa model media online itu sendiri. Untuk sebagian besar media online yang ada di tanah air, saya akan menjawab tidak untuk pertanyaan ini.

Sebagai seorang yang dibesarkan dengan budaya membaca sejak kecil, saya cenderung tidak tertarik dengan cara beberapa media online menyajikan berita di laman daring mereka. Artikel yang terbilang pendek dengan dua hingga tiga paragraf saja itu memang terkesan mudah untuk dipahami, namun pada dasarnya minim akan informasi. Informasi  yang terlalu cepat dan terlalu banyak ini juga membuat pembaca jadi tidak fokus pada satu berita karena ditumpuk-tumpuk dalam satu waktu.

Sebagai contoh, berita pejabat A ditangkap karena kasus korupsi muncul di kanal berita B. Follow up dari berita kasus korupsi pejabat A itu muncul beberapa menit kemudian di kanal yang sama. Lalu tiba-tiba seorang pembalap MotoGP mengalami kecelakaan parah. Kanal berita tadi pun kemudian beralih fokus ke perstiwa kecelakaan tadi dan meninggalkan kasus pejabat A dengan informasi yang tidak lengkap. Informasi yang sepotong-sepotong seperti ini rentan sekali untuk dijadikan sebagai sumber kericuhan, terutama di sosial media. Belum lagi jika kanal berita online itu kemudian dimiliki oleh kelompok tertentu. Kesimpangsiuran berita akan semakin tidak jelas.

Maka dari itu, pamahaman yang mengatakan bahwa media online akan segera menggantikan media cetak (dalam hal ini media cetak yang ada di Indonesia) adalah pemahaman yang salah menurut saya. Selagi masih menggunakan metode yang mereka pakai sekarang ini, media online di tanah air masih belum bisa untuk menggantikan posisi media cetak. Terutama untuk penikmat artikel berita fitur, investigasi dan opini seperti saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar disini..!!!!