Malam yang sunyi,
namun bulan seperti lebih terang dari biasanya. Malam itu bulan sedang purnama.
Sebuah mobil SUV mewah berwarna silver berjalan menyusuri jalan kota, menembus
heningnya malam menuju pinggiran kota. Mobil itu mengarah ke sebuah rumah yang
besar layaknya istana di negeri dongeng. Rumah itu adalah milik seorang
pensiunan pejabat kota berusia 78 tahun, Latief Hartanto.
Sang pensiunan
pejabat itu tak biasanya pulang selarut ini. Dia baru saja selesai menghadiri
jamuan makan malam pesta penikahan anak walikota. Rumahnya yang berada di
pinggiran kota membuatnya harus menempuh perjalanan sejauh satu jam lebih lima
belas menit dari pusat kota. Dia dan istri mudanya tak ingin diganggu oleh
bisingnya kehidupan kota, itulah yang membuatnya memilih tinggal di pinggiran
kota yang sedikit lebih sunyi. Dia juga tak suka menggunakan supir pribadi. Dia
merasa masih mampu untuk melakukan segalanya sendirian meskipun usianya sudah
melewati setengah abad. Bahkan dengan rumah sebesar itu pun dia tidak
menggunakan seorang satpam untuk menjaga rumahnya. Tingkat kepercayaan Latief
memang sangat rendah terhadap orang disekitarnya.
Banyak gosip yang
tersebar mengenai sumber-sumber kekayaan kakek 78 tahun ini. Mulai dari dugaan
kasus korupsi dan pencucian uang pada masa jabatannya dulu pada saat Perang
Dunia III atau yang biasa kami sebut Perang Nuklir. Namun, seperti kebanyakan
kasus korupsi yang lain, kasus tersebut seperti menghilang menguap di udara
tanpa sisa.
Meskipun
memiliki kehidupan yang terbilang mewah, keluarganya masuk dalam kategori
berantakan. Hubungan dia dengan keempat anaknya tak akur setelah dia memilih
untuk menikah lagi. Setahun setelah istrinya meninggal, Latief memilih untuk
menikah lagi dengan perempuan yang 40 tahun lebih muda dari dirinya. Inilah
yang membuat para anaknya merasa dia hanya diperalat oleh si istri muda agar
dapat merebut semua harta warisan miliknya. Namun sejauh ini belum ada
tanda-tanda dia akan diperalat oleh si istri muda. Tak satu pun dari keempat
anak Latief yang tinggal bersamanya di rumah besar tersebut. Keempat anak
Latief memiliki kehidupan masing-masing dan seakan sudah tidak peduli dengan
kehidupan orang tuanya yang sudah memiliki istri yang bahkan tidak lebih tua
dari anak pertama Latief.
SUV silver
yang dikendarai oleh Latief sudah tiba di depan pintu gerbang mansion-nya. Dia
memencet remote khusus dari dalam mobil dan membuat pintu gerbang terbuka
dengan sendirinya. Latief kembali menginjak pedal gas mobil mewahnya itu dan
berjalan pelan memasuki pekarangan rumahnya. Perjalanan dari gerbang menuju
garasi yang berjarak sekitar 100 meter menunjukkan betapa mewahnya rumah kakek
eksentrik ini. Pintu garasi terbuka secara otomatis dan mobil SUV itu kembali
berjalan pelan masuk ke dalam garasi mobil.
Ketika turun
dari mobil dan hendak menutup kembai garasi mobilnya, Latief seperti mendengar
suara aneh yang datang dari pekarangannya yang luas bak lapangan sepakbola. Dia
curiga ada penyusup yang masuk ke rumahnya, apalagi malam itu istrinya sedang
di rumah mertuanya.
Dia mengambil
senapan angin miliknya yang ada dalam garasi mobil dan segera ke pekarangan
rumahnya.
“Keluar kau,
sialan..!!!” Teriak Latief sambil mengokang senapan angin miliknya namun tak
ada jawaban apapun dari penyusup itu.
Tak lama
berselang, Latief merasakan semak-semak yang ada di pekarangan rumahnya seakan
mengeluarkan suara aneh. Latief berjalan dengan tenang menuju semak tersebut
sambil mempersiapkan senapan anginnya. Dia mulai berjongkok pelan di dekat
semak itu, penasaran dengan sesuatu yang ada di balik semak-semak itu. Ujung
senapan angin laras panjangnya dia masukkan secara perlahan ke dalam
semak-semak.
Dengan
perasaan sedikit tegang, Latief sudah siap menarik pelatuk senapan. Tiba-tiba
saja sebuah tangan langsung menyekap mulut Latief. Cengkraman orang tersebut
sangat kuat dan latief hanya bisa memberontak dan memukul-mukul tangan penyusup
itu, namun tetap saja badannya yang sudah menua tak bisa bebuat apa-apa melawan
tangan berotot penyusup itu. Semakin keras Latief memberontak, semakin kuat
penyusup tersebut menyekap mulut kakek tua itu dengan tangan kirinya.
“Tenanglah,
pak tua. Tenang.” Bisik penyusup itu ke telinga Latief sambil tetap membekap
mulut Latief dan menyeretnya ke dalam semak-semak.
“Dari pakaianmu,
kau sepertinya sudah puas bersenang-senang malam ini. Sekarang saatnya kau
kubuat puas dalam penderitaan.” Si penyusup melanjutkan bisikannya sembari
tanpa ampun menutup hidung dan mulut Latief hingga kakek itu tidak bisa
bergerak lagi.
Ketika Latief
sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, penyusup tersebut kemudian mengeluarkan
sebuah pisau. Si penyusup yang seakan
belum puas telah membuat Latief tak sadarkan diri lalu mengarahkan ujung
pisaunya ke sisi kiri leher Latief. Dia mulai mengiris secara perlahan leher
Latief dari ujung kiri hingga ke ujung kanan, membiarkan darah dari leher
Latief tertumpah ke Jas dan Kemaja putih yang di kenakan Latief.
Mayat Latief
yang sudah tidak bernyawa diletakkan si penyusup begitu saja di semak-semak pekarangan
rumah Latief dan menghilang dari rumah besar itu.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar disini..!!!!