Senin, 28 Agustus 2017

Death Note Review




Ada dua film hollywood adaptasi anime/manga yang sangat saya tunggu tahun ini. Dua film itu adalah Ghost in the Shell dan Death Note. Dua judul ini cukup menjanjikan untuk dibuat adaptasi hollywood-nya karena memiliki genre dan premis cerita yang sangat hollywood banget. Ghost in the Shell dengan sci-fi thriller dan Death Note dengan genre horror crime thriller-nya. Saya melewatkan Ghost in the Shell dua bulan lalu, jadi saya tak akan mencoba bercerita tentang filmnya sampai saya menontonnya. Sedangkan Death Note, baru sekitar dua hari yang lalu saya menontonnya dan hasilnya..

Amburadul.. -_-

Sebelum saya membahas film adaptasi hollywood-nya yang amburadul itu, mari saya jelaskan dulu apa itu Death Note.

Death Note adalah serial manga/anime yang bercerita tentang sebuah buku mematikan. Apabila dituliskan nama seseorang di dalam buku tersebut,  orang yang namanya ditulis akan mati. Buku Death Note itu merupakan milik dewa kematian (Shinigami) bernama Ryuk yang dia jatuhkan ke dunia manusia yang kemudian ditemukan oleh Light Yagami, seorang siswa SMA terpandai seantero Jepang. Setelah melakukan beberapa percobaan dan pembuktian, Light Yagami menggunakan buku itu untuk membersihkan dunia ini dari orang jahat dengan cara membunuh para pelaku kriminal.
Ada 2 plot besar yang ada dalam serial Death Note ini. 

Yang pertama ialah tentang ambisi Light Yagami untuk menjadi dewa di dunia baru yang ia ciptakan dengan membunuh para pelaku kriminal. Dia menciptakan sebuah persona bernama Kira dan secara berangsur-angsur memiliki pengikut. Dalam mencapai ambisinya menjadi dewa, dia juga tak segan-segan memanipulasi orang lain atau bahkan sampai membunuhnya menggunakan Death Note.

Plot yang kedua ialah tentang aksi kucing-kucingan antara L dengan Kira. L adalah tokoh utama kedua di serial ini dan merupakan seorang detektif swasta yang punya reputasi tinggi dalam memecahkan kasus besar. L berusaha memecahkan kasus kematian misterius para pelaku kriminal ini dan sampai pada kesimpulan bahwa Light Yagami adalah Kira. Karena tak memiliki bukti, L pun kemudian melakukan penyelidikan pada Light Yagami. Setelah tahu dia selidiki, Light pun mencoba mencari tahu nama sebenarnya dari L untuk membunuhnya dengan Death Note. Plot ini menjadi menarik karena menyakasikan pertarungan L vs. Kira ini layakanya melihat 2 orang pemain catur yang saling mencari celah satu sama lain. Selain itu, kepribadian L dan Light Yagami yang kontras selalu menjadi bumbu cerita yang menarik untuk diikuti, terutama pendapat mereka berdua tentang apa itu keadilan yang terkadang membuat kita sebagai pembaca/penonton juga bertanya-tanya seperti apa sebenarnya keadilan itu.

Kira-kira seperti itu garis besar cerita dari Death Note. Masih agak kurang lengkap sebetulnya karena banyak hal menarik yang sukar saya jelaskan. Baca manga atau tonton saja anime-nya sendiri untuk lebih jelasnya.

Sebelum di adapatasi oleh hollywood, sebenarnya sudah pernah dibuat adaptasi Death Note ke film dalam versi Jepang. Bahkan sampai 3 seri kalau tidak salah. Tapi baik Jepang ataupun Hollywood, belum ada satupun yang sanggup membuat film Death Note yang fenomenal seperti apa yang dicapai oleh manga/anime-nya. Seperti halnya film Jepang lain yang diadaptasi dari manga/anime, akting para aktornya kaku seperti papan tripleks. Entah apa masalahnya film-film Jepang ini dalam mengadaptasi anime/manga. Ceritanya pun terlalu dipercepat dan dipadatkan. Namun ini bisa dimaklumi karena mengadaptasikan 12 volume manga dan 37 episode anime itu ke dalam film yang cuma berdurasi kurang lebih dua jam adalah hal yang cukup sulit.

Baiklah, mari kita kembali pada persoalan adaptasi Death Note ke film yang amburadul itu.
Adapatasi hollywood dari Death Note ini cukup menjanjikan sebetulnya. Karena seperti yang saya tulis di awal tadi, genre Death Note ini sangat hollywood banget, tidak seperti manga/anime kebanyakan. Yang mengadaptasikannya pun adalah Netflix yang sudah punya cukup reputasi yang bagus untuk jenis cerita macam Death Note ini, contohnya seperti House of Cards (kapan-kapan saya akan review tv series favorit saya ini :D).

Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan perubahan karakter yang jauh dari serial asli Death Note, justru itu membuat filmnya jadi tambah menarik karena membuat kita penasaran. Masalahnya, tak satu pun dari aktor-aktor ini yang memerankan karakter itu dengan baik. Hanya karakter Ryuk (yang diisi suaranya oleh aktor kawakan Willem Dafoe) yang berhasil diperankan dengan baik. Ryuk di film ini jadi lebih manipulatif dan Willem Dafoe sebagai pengisi suaranya sangat menghayati. Selebihnya, tak ada yang benar-benar membuat kita simpati dengan dengan karakternya. Entah skrip filmnya belum matang atau memang sutaradaranya yang kurang bisa menyampaikan isi skrip secara utuh sehingga filmmnya jadi tidak sempurna.

Satu hal lagi yang membuat saya kecewa adalah dihilangkannya dua plot besar yang saya tulis di atas tadi sehingga membuat filmnya menjadi sebuah film horror-gore tak berotak yang bahkan tidak lebih bagus dari 5 seri Final Destination.

Yah, intinya saya sebagai orang yang sangat suka dengan Death Note sangat kecewa dengan film adaptasinya yang dibuat oleh Netflix. Lalu kemudian mungkin ada yang berpikir:
 “jangan dibanding-bandingkan. Anime/Manga berbeda dengan film Live-Action”
Bagaimana ya? Salahnya Netflix juga sebenarnya kenapa nekat membuat adaptasi dari manga/anime. Yang namanya adaptasi, pasti dibandingkan sama versi aslinya. Lagipula kalau Netflix mau buat cerita yang benar-benar baru, kenapa tidak membuat yang baru sekalian. Tidak usah pinjam nama dari film atau serial yang sudah ada.

Ya, sudahlah. Intinya saya kecewa.